Betapa berat beban wajib yang harus disandang peran orang tua. Kewajiban tentang mendidik anak-anaknya, buah hatinya –jika ia mengetahui- . dan salah metode yang Allah ajarkan melalui RasulNya adalah melalui metode "hadiah dan hukuman". Metode reward and punishment ini bisa dicarikan rujukannya dalam agama Islam. Salah satunya adalah apa yang dicontohkan Rasulullah saw dalam mendidik anak yang menginjak usia 10 tahun tetapi belum mau mendirikan shalat.
Mari kita perhatikan sabda Rasulullah saw:
Mari kita perhatikan sabda Rasulullah saw:
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
“Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Hadits ini memberikan contoh salah satu hukuman bagi anak yang tidak mau mendirikan shalat padahal sudah diajak, dibiasakan, dan diingatkan semenjak 7 tahun. Hukuman tidak diberikan secara mendadak dan tiba-tiba kecuali setelah ada proses "tanbih" (peringatan) .
Contoh lain yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ rahimahullahu, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا وَجَدَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِهِ يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ، ضَرَبَهُ وَكَسَرَهَا
“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Shahih Al- Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf)
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu 'anha, sebagaimana penuturan Syumaisah Al- ’Atakiyyah:
ذُكِرَ أَدَبُ الْيَتِيْمِ عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَقَالَتْ: إِنِّي لأَضْرِبُ الْيَتِيْمَ حَتَّى يَنْبَسِطَ
“Pernah disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu 'anha, maka beliau pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga dia telungkup menangis di tanah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad)
Contoh-contoh "hukuman" di atas, sekali lagi, bukanlah langkah awal dan solusi utama, kecuali setelah proses peringatan dan koreksi. Kesalahan memang kerap terjadi dalam diri setiap manusia (sebagaimana sifat manusia, mahallu nisyan wa khataa, tempatnya lupa dan salah) dan peringatan terus diperlukan hingga jika peringatan demi peringatan belum berarti, maka jatuhlah hukuman. Hukuman seperti pukulan seperti di atas misalnya, Islam juga mengaturnya seperti larangan memukul wajah. sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah ra:
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ
“Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al- Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Dan kita perlu pahami, bahwa sakit seseorang, musibah bencana alam, dan sejenisnya, bisa masuk kategori hukuman Allah kepada seseorang/kaum di dunia ini, selain cobaan (bagi orang yang beriman) dan ujian (seperti para nabi). Orang yang terhukum dengan musibah menimpanya di dunia, in syaa Allah bisa menjadi penghapus dosa-dosanya (mukafirrat dzunub), sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di riwayat yang lain, Rasul mengatakan: “Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan (kelelahan), sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahan nya." (HR. Al-Bukhari).
Secara umum, "reward and punishment" dapati di-qiyas-kan dari ayat Al-Qur`an berikut ini: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7).
Dan hadiah yang diberikan kepada yang berprestasi bukanlah suatu tujuan, tapi sekedar wasilah, "kendaraan" untuk mempertahankan dan lebih meningkatkan prestasi bagi yang telah meraihnya, trigger bagi yang belum berprestasi. Dan ini dipahamkan secara berproses, bukan hanya melalui ceramah saja, tetapi pemahaman materi pelajaran agama, bab "thalabul 'ilmi", misalnya. Terutama, bagi anak di masa pertumbuhan, mereka masih membutuhkan sesuatu yang ditiru, plagiat, mencari idola, dan populer di kalangan mereka. Awal peniruan kepada hal yang baik dan positif, meski masih bersifat ekstrinsik, lebih baik daripada tersesat berimitasi kepada yang tidak sesuai dengan dunia pendidikan.
Inilah yang diistilahkan pendidikan –sesuatu yang bernilai baik- itu perlu "dipaksakan" dahulu kemudian akan menjadi "kebiasaan", dan terahir menjadi ikhlas dalam menuntut ilmu. In syaa Allah akan berjalan sejajar dengan kualitas dan prestasi. Seperti ayat Al-Quran berikut ini (sekaligus bukti reward dalam dunia pendidikan): "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah: 11)