Di sini kami mengajak untuk
bersama memetik pelajaran dari kondisi yang dialami Rasulullah sebelum menerima
wahyu sebagai referensi bahan pembinaan. Karena Allah SWT merekayasa kondisi
Nabi demikian itu tentu memiliki target dan tujuan. Ini merupakan pembinaan
yang sangat tepat, dalam hal ini dimaksudkan untuk pengkondisian merasuknya
wahyu dalam diri Nabi.
Kondisi yang dialami Nabi
tersebut dibagi ke dalam beberapa fase.
Yaitu fase yatim, menggembala, berdagang, ber-Khadijah, dan ber-gua Hira
1.
YATIM
Sejak lahir, Muhammad sudah tidak
mengenal ayah. Sang ayah meninggal tatkala ia masih berusia 7 bulan dalam
kandungan. Ketika baru berusia 8 hari, Muhammad kecil diserahkan kepada salah
seorang dari keluarga Bani Sa’d untuk disusui. Ini tak lepas dari tradisi
bangsawan Arab. Dan yang terpilih untuk menyusui Muhammad adalah Halimah
As-Sa’diyah yang tinggal di perkampungan Bani Sa’d sekitar 50 km sebelah Timur
Mekah. Ini merupakan sebuah kampung yang dihuni oleh suku yang terkenal dengan
kehalusan bahasanya. Empat tahun lamanya ia diasuh oleh Halimah untuk kemudian
dikembalikan kepada ibunya.
Hidup di perkampungan yang jauh
dari pengaruh kota sangat menolong pertumbuhan kejiwaan Muhammad kecil. Hidup
di tengah-tengah Bani Sa’d bukan hanya mendapat pemeliharaan fisik yang
optimal, namun juga dapat mempelajari bahasa Arab yang murni.
Pernah ia berkata kepada
teman-temannya, “Aku yang paling fasih di antara kamu dalam berbahasa Arab. Aku
orang Quraisy tapi pernah diasuh di tengah-tengah keluarga Bani Sa’d bin Bakr.”
Ini menunjukkan bahwa Bani Sa’d dikenal dengan kefasihan dan kehalusan
bahasanya.
Terkait fase keyatiman Nabi
Muhammad tersebut, bahwa setiap episode perikehidupan Nabi sebelum diutus
sebagai Rasul berkaitan benar dengan tugas risalah yang akan diembannya.
Termasuk dalam hal ini fase keyatiman. Sejak usia 7 bulan dalam kandungan telah
ditinggal mati sang ayah, yang kemudian disusul bundanya di usia 6 tahun. Semua
ini takdir Ilahi. Kita pun tidak tahu persis apa hikmah dan maknanya. Allah
yang Maha Tahu.
Namun sepintas dapat kita lihat
dampak fase keyatiman ini pada diri Nabi. Jiwanya tegar bagai baja dalam
menghadapi tantangan. Di lain sisi, hatinya lembut nan karimah bagai salju.
Dari usia nol tahun tak pernah sepatahkatapun terucap dari lisannya, “Abiy.. Abiy..”. Dan di usia tujuh tahun
beliau tak terucap lagi kata, “Ummiy...ummiy...”.
Padahal sebagai insan,ia memerlukan tempat mengadu. Bisa saja ia mengadu
kepada sang paman, Abu Thalib, tapi pamannya ini pun terbebani biaya hidup
anak-anaknya yang cukup banyak dan ia adalah orang miskin. Karenanya, kalimat,
“Ya Robby... Ya Robby..”. Selalu
beliau kumandangkan sebagai ganti keinginan memanggil bapak dan ibunya sembari
menengadahkan muka ke langit.
Sebelum berada dalam kepengasuhan
pamannya, Muhammad kecil sempat diasuh selama 2 tahun oleh kakeknya, sang
walikota Mekah, Abdul Muthalib. Ada pelajaran penting yang dipetik Muhammad
selama ia berada dalam pengasuhan kakeknya, yaitu kepemimpinan. Abdul Muthalib
memiliki wibawa yang besar, pikiran yang jernih, dan pandangan yang tajam. Sang
kakek juga terkenal sangat dermawan. Muhammad kecil juga sering mendengar
cerita mengenai sikap kakeknya ketika Raja Abrahah ingin menghancurkan ka’bah.
Waktu itu, beliau diberi kesempatan oleh Raja Abrahah untuk mengajukan satu
permintaan sebelum ka’bah diluluhlantakkan. Maka Abdul Muthalib yang menjadi
penguasa Mekah hanya meminta ternak-ternaknya yang dicuri oleh anak buah
Abrahah agar dikembalikan.
Abrahah tertawa keras mendengar
permintaan seorang penguasa yang tidak lazim itu. “Saya tidak menduga kalau
Anda sebagai seorang pemimpin Arab hanya meminta ternak dikembalikan. Kenapa
bukan Ka’bah yang kamu minta untuk diselamatkan?”
Maka Abdul Muthalib pun menjawab,
“Maaf tuan. Karena ternak itu yang memiliki saya. Kalau urusan Ka’bah saya
tidak ikut campur. Itu Tuhan yang punya. Terserah Dia, apakah rumah-Nya akan
dibiarkan tuan hancurkan atau bagaimana. Nanti tuan yang berurusan dengan Dia.”
Dan sejarah membuktikan, Allah
yang langsung turun tangan menyelamatkan Ka’bah dengan mengirim burung Ababil.
Cerita di atas sangat melekat di hati Muhammad. Sebuah gambaran betapa kokohnya
keyakinan yang dimiliki sang kakek kala berhadapan dengan orang yang mencoba
melawan Tuhan.
Dari fase keyatiman ini, kita
dapat sedikit mengambil hikmah tentang fase keyatiman yang dilalui Rasulullah
di masa kecilnya:
Tahan Banting
Pengaruh keyatiman pada diri
Rasulullah sedemikian besar, terlihat secara jelas saat Beliau melangkah
berjuang meruntuhkan pilar-pilar jahiliyah demi tegaknya Kalimatullah. Hal ini
tentu sangat sulit dilakukan manusia, kecuali mereka yang sudah menyiapkan diri
bermental dan berjiwa besar, tahan banting, di samping adanya kesabaran da
ketabahan yang ekstra tinggi.
Mandiri
Kegetiran hidup sebagai seorang
yatim cukup membekas dalam hatinya. Ia tak pernah mengenal bermanja-manja dan
berkeluh kesah dengan ayah ataupun ibunya. Sepeninggal ibunya, ia dipelihara
oleh kakeknya Abdul Muthalib selama dua tahun. Berikutnya diasuh oleh pamannya,
Abu Thalib. Pamannya ini adalah seorang miskin yang mempunyai banyak anak.
Itulah sebabnya dalam asuhan pamannya ini dia harus ikut bekerja keras mencari
nafkah dengan menggembala kambing milik penduduk Mekah dengan upah yang sangat
minim.
Nampak di sana bahwa Allah SWT
sengaja melepaskan Muhammad dari pendidikan ayah bundanya untuk melepaskan
beliau dari cengkraman jahiliyah. Sebab Muhammad dipersiapkan menjadi Rasul
yang mutlak baginya bersih dari campur tangan pendidikan jahiliyah, termasuk
terbebas dari pendidikan orang tua. Karena walaupun bagaimana terpujinya akhlaq
kedua orang tuanya, mereka hidup dalam kejahiliyahan.
Karenanya, fase keyatiman ini
membebaskan Muhammad dari ketergantungan kepada siapapun kecuali kepada Allah.
Dari detik ke detik pertumbuhan fisik dan mentalnya langsung berada dalam
pengawasan Allah. Diapun selalu merasakan kehadiran Allah dalam dirinya,
menngiringi setiap langkah kehidupannya.
Sensitivitas
Keyatiman Nabi dengan segala
nestapanya berhasil menumbuhkan “sensitivitas kemanusiaan” yang sangat tinggi.
Hal ini sangat besar manfaatnya sebagai modal kepemimpinan. Beliau tidak pernah
mengungkapkan perasaan sebagai yatim piatu dengan maksud mengundang belas kasih
orang lain. Keyatiman memang bukan untuk diratapi. Nestapa derita keyatiman adalah
energi yang tersimpan, modal untuk memimpin umat. Kelak beliau akan mudah
memberi santunan kepada sesama yang senasib, seperti diri beliau.
Padahal sebagai manusia, alangkah
dalamnya rasa keyatiman itu menghujam dalam benaknya. Sepulang dari ibu asuhnya,
Halimah, dia pernah bertanya perihal ayahnya kepada ibu kandungnya, Siti
Aminah. Sang ibu tersebut menjawab pelan antara terdengar dan tidak sambil
berderai air mata. Demi menghibur putra tercintanya, sang ibu pun mengajak
Muhammad untuk mengunjungi kerabat ayahnya yang ada di Yatsrib sekaligus
menziarahi makam ayahandanya. Namun sepulangnya ke Mekah, sang bunda menemui
ajalnya di tengah perjalanan.
Dapat dibayangkan, betapa
pedihnya hati Muhammad kecil di kala itu. Ibunya wafat di depan matanya, namun
kesedihan itu tak sampai menyebabkan air matanya bercucuran tak berkesudahan.
Rupanya air mata itu terendap di balik relung hatinya menciptakan kepekaan
rasa. Setelah tampil sebagai pemimpin, barulah air mata itu tak tertahankan
lagi setiap menemui hal-hal yang memprihatinkan yang melanda umatnya.
Terbebas dari Thagha’
Manfaat keyatiman yang paling
erat kaitannya dengan tugas kerasulan adalah terbebas dari thagha’, merasa
dirinya hebat. Sehingga cahaya wahyu Allah dengan mudah merasuk ke dalam
hatinya. Wahyu itu begitu lancar merasuk ke dalam jiwa Nabi karena hati beliau
terbebas dari thagha’, arogan, sombong yang merupakan tembok penghalang.
***
Aplikasi Fase Keyatiman dalam Pendidikan
Ust Abdullah Said menjadikan fase
keyatiman Muhammad di atas untuk mendidik santri-santrinya. Walaupun sulit
dibuat kurikulumnya dan tidak mudah diterapkan, tapi tujuannya agar santri
dapat merasakan keyatiman itu dengan lebih banyak berkonsentrasi di kampus
memanfaatkan daya dan kemampuannya dan tidak bergantung kepada orang tua.
Kondisi keseharian di pesantren
memang penuh dengan gemblengan baik lewat ceramah maupun pengarahan. Itu semua
dilakukan agar santri mampu menghayati sedalam-dalamnya kekuasaan Allah dan
bukti-bukti kasih sayang Allah kepada
hamba-Nya. Dan memang kerapkali terjadi keajaiban di lingkungan pembinaan
kampus Gunung Tembak. Suatu saat santri tengah kehabisan makanan. Ust Abdullah
Said segera mengarahkan segenap santri untuk berdoa agar Allah berkenan menurunkan
bantuan-Nya. Ternyata tidak lama setelah berdoa, datang bantuan yang tak
disangka-sangka. Santri-santri seperti bermimpi. Dan peristiwa seperti itu
sering sekali terjadi.
Kejadian tersebut menjadi
pelajaran penting bagi para santri. Jika bergantung kepada Allah dengan penuh
harap in sya Allah itu bukan pekerjaan yang sia-sia. Tapi tentu saja dengan
syarat harus didukung dengan kerja keras.
Pembinaan dengan pengkondisian
keyatiman ini dirasakan cukup mendatangkan hasil. Kader-kader awal dapat menjadi
kader andal karena hasil pembinaan model seperti ini merupakan aplikasi
langsung dari contoh langsung yang ada dalam diri Rasulullah. Para santri ini
pada akhirnya memiliki jiwa mandiri, percaya diri, dan ketergantungannya kepada
Allah sangat tinggi.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar