1
Setelah pembahasan fase pertama pengkaderan yang dijalani oleh Rasulullah saw berupa kondisi keyatiman, maka kali ini kita akan membahas tentang 3 fase selanjutnya yang dialami oleh Rasulullah saw sebagai fase pengkaderan sebelum beliau saw diangkat menjadi rasul dan menerima wahyu.
Fase Kedua : Menggembala
Pengembala kambing merupakan
pekerjaan rendah dilihat dari status sosial. Pada masa itu, pekerjaan tersebut
biasanya dilakukan oleh para budak dan upahnya pun tak seberapa. Dan ini sangat
disadari oleh Muhammad. Tapi kenapa ia memilih pekerjaan ini?
Bermula dari keinginannya untuk
meringankan beban kehidupan pamannya, Abu Thalib, yang telah mengasuhnya
sementara ia adalah seorang miskin dan memiliki banyak anak. Muhammad rela
menjalani pekerjaan tersebut dengan penuh kesungguhan tanpa ia tahu apa hikmah
di baliknya. Kelak barulah ia menyadari bahwa ternyata Nabi-nabi yang diutus
oleh Allah umumnya menjadi pengembala kambing.
Rupanya mengembala kambing sangat
bermanfaat untuk melatih kesabaran, ketabahan, dan kematangan mental sebagai
calon pemimpin. Kambing merupakan binatang ternak yang sulit diatur sehingga
memerlukan keuletan ekstra untuk menjinakkannya. Dan Muhammad tercatat dalam
sejarah sebagai seorang pengembala yang telaten luar biasa. Sering ia mengejar
kambingnya yang lari memisahkan diri dari kelompok. Kalau sudah berhasil
menangkap kambing yang nakal tersebut, ia akan segera memeluknya sambil
berkata, “Engkau lelah dan akupun lelah.”
***
Aplikasi Fase Menggembala dalam
Pendidikan
Di pondok pesantren Hidayatullah,
Ust Abdullah Said mengimplementasikan fase menggembala ini untuk mendidik
santri-santrinya. Kalau Nabi Muhammad di usia remaja menggeluti pekerjaan yang
dianggap hina namun produktif, maka para santri juga demikian halnya.
Usia remaja biasanya digunakan
untuk melampiaskan nafsu dan berbagai keinginan yang cenderung tidak
terkendali. Oleh karena itu, nafsu tersebut diredam dengan menggeluti pekerjaan
yang menurut pandangan anak-anak seusianya di luar pesantren merupakan
pekerjaan hina. Misalnya seperti membelah kayu, , mencangkul, membantu tukang,
buruh, membersihkan kolam yang airnya bercampur kotoran manusia, dan
semacamnya. Itulah aktivitas keseharian para santri.
Awalnya sangat berat, apalagi
bagi para santri yang umumnya pernah mengalami kehidupan bermanja dan bebas.
Tapi dengan gemblengan mental yang terus menerus, dibarengi pengarahan yang
selalu memberi harapan kecerahan masa depan sebagai calon pemimpin, lama
kelamaan luluh juga. Para santri merasakan bahwa dengan menggeluti pekerjaan
seperti itu dapat mengantarnya untuk mudah mendapatkan secercah petunjuk karena
kesombongan pada dirinya lama-lama mulai terkikis.
Gemblengan Ust Abdullah Said ini
memang tidak sia-sia. Buktinya kader-kader awal kemudian berhasil ditugaskan di
berbagai tempat. Di hadapan penghuni Gunung Tembak, mereka melaporkan tentang
perjuangannya. Ini merupakan motivasi tersendiri bagi santri.
2. Fase Ketiga Berdagang
Setelah Abdul Muthalib meninggal,
Muhammad dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib. Pamannya ini bukan merupakan
orang kaya. Bahkan kehidupannya sangat memprihatinkan dan memiliki banyak anak.
Namun begitu, ia memiliki kharisma dan kepemimpinan andal yang disegani oleh
seluruh lapisan masyarakat.
Sang paman lalu mengikutikan
Muhammad muda ke Negeri Syam dalam sebuah perjalanan bisnis. Keikutsertaan itu
atas permintaan Muhammad sendiri, namun perjalanan itu hanya sebentar saja dan
tidak sampai tujuan. Pendeta Bukhara mencegatnya karena melihat tanda-tanda
kenabian yang ada dalam diri Muhammad. Dia bahkan menasehati Abu Thalib agar keberadaan
Muhammad tidak diketahui oleh orang Yahudi karena mereka pasti akan
membunuhnya. Tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad sudah diketahui oleh
tokoh-tokoh Yahudi lewat kitab sucinya.
Perjalanan ini memang singkat,
namun mata dan pikiran Muhammad mulai terbuka melihat alam dan sosok-sosok
manusia yang belum pernah disaksikannya. Pengalamannya bertambah setelah
melakukan perjalanan keluar dari Mekah tersebut.
Dari pengalaman yang sangat
sedikit itu, Muhammad lalu memberanikan diri untuk membawa barang dagangan
milik Khadijah binti Khuwailid. Modalnya pada waktu itu hanyalah kejujuran dan
etos kerja.
Dunia bisnis terkenal dengan
praktek penuh kebohongan dan tipu daya. Muhammad ingin menyelami seperti apa
kehidupan manusia yang bergulat di dalamnya, paling tidak sekedar untuk
menambah pengalamannya, namun ternyata Muhammad mampu menjadi seorang pedagang
yang fenomenal di masanya.
Sebagai pedagang, Muhammad
menjauhkan diri dari segala praktek kebohongan dan tipu daya kotor untuk
mengelabui konsumennya. Sepanjang sejarah bisnis pada waktu itu, model dagang
ala Muhammad merupakan yang pertama dan satu-satunya. Dalam melayani pembeli,
beliau sangat santun, murah senyum, sabar, berbicara dengan jujur dan apa
adanya, tidak bersuara kasar apalagi berteriak. Dan ternyata dagangannya laris
manis dan paling cepat habis. Muhammad langsung menjadi pusat perhatian. Tempat
jualannya selalu ramai dikunjungi orang dan keuntungan dagangnya pun berlipat
ganda. Sang majikan, Khadijah mejadi senang dibuatnya.
Dengan penuh penasaran, Khadijah
pun meminta Maisaroh untuk menyertai Muhammad untuk mengetahui seperti apa
cara berdagang Muhammad. Maisaroh pun
menceritakan apa adanya yang dia lihat pada diri Muhammad pada saat transaksi
jual beli yang dilakukannya. Maisaroh bercerita, apabila Muhammad menjual, dia
akan menjelaskan dengan sabar dan penuh senyum kenapa ada barang yang dijual
murah dan ada yang dijual mahal. Banyak yang membeli barang dagangannya dengan
harga yang jauh lebih tinggi dari yang ditawarkan Muhammad dan pembeli itu pun
berkata, “Saya bukan membeli barangnya, tapi membeli hati penjualnya.”
***
Aplikasi Fase Berdagang dalam
Pendidikan
Dalam fase ini, Ust. Abdullah
Said mengambil hikmah tentang bagaimana mengantar para santrinya agar memiliki
jiwa mandiri, tidak tergantung pada uluran tangan masyarakat bila kelak
bertugas di daerah-daerah. Karenanya, mereka harus dibekali dengan berbagai
ketrampilan yang dapat menjadi sumber maisyahnya.
Para santri dibekali dan dididik
agar pada saat terjun berdakwah ke dalam masyarakat, para santri ini dapat
membantu dan memberi banyak kontribusi kepada umat dan bukan malah mengharap
uluran tangan. Hanya dengan cara ini dakwah akan lancar, mudah diterima dan
tidak tersendat akibat merasa berutang budi kepada masyarakat.
Para santri masing-masing diberi
amanah berbagai macam proyek. Memang masih dalam taraf sederhana, tapi dari
sinilah mental santri digembleng agar dapat melatih diri membuka usaha dan
jujur memegang amanah. Proyek-proyek ini dimodali oleh pesantren. Misalnya ada
proyek penanaman kelapa, kemiri, pisang, tanaman lindung, perikanan,
pertukangan batu/kayu, perbengkelan dan banyak lagi.
Ada juga santri yang diikutkan
pada orang-orang tua dalam kelompok tani yang melakukan penanaman sayuran,
hingga mereka menjual hasilnya. Berbagai macam pelatihan juga terus
ditingkatkan dengan bekerja sama dengan LSM-LSM yang ada, termasuk pemerintah.
Misalnya saja pelatihan pembuatan mebel, otomotif, instalasi listrik, menjahit.
Para santri juga membuat berbagai jenis kerajinan seperti gantuangn kunci,
melukis kaligrafi, menyulam, dan lain-lain. Selanjutnya Kepala-kepala proyek tersebut harus memberi
laporan tentang perkembangan proyek yang ada dalam amanahnya setiap jum’at
pagi.
Produk-produk santri tersebut
lalu dipasarkan ke luar pesantren dan cukup laku. Uang hasil perolehan
penjualan akan dipakai untuk keperluan hidup para santri. Bekal ketrampilan dan
pengalaman berdagang ini akan sangat membantu ketika kelak mereka harus
berkiprah di tengah masyarakat. Di samping pintar dan lihai dalam berceramah,
para santri tersebut juga terampil dan mandiri. Hal ini tentu semakin menambah
percaya diri dan para santri semakin tangguh mengemban amanah dakwah.
3. Fase Ketiga Ber-Khadijah
Fase berikut yang dilakoni
Muhammad sebelum menerima wahyu atau memasuki kepemimpinan profetik adalah
berumah tangga. Beliau menikah dengan Khadijah, janda dan saudagar kaya,
maharnya 400 dinar. Apabila dirupiahkan dengan nilai sekarang sekitar Rp
350.000.000,-. Dan uang tersebut merupakan hasil keringat Muhammad sendiri,
hasil kerja dari berdagang.
Dalam memilih pasangan hidupnya,
Muhammad lebih mempertimbangkan akhlaq serta pengorbanan sosok Khadijah dan
bukanlah nafsu yang dominan. Inilah memang yang diperlukan dalam membangun
sebuah rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Dan terbukti, setelah Muhammad
mendapat wahyu kerasulan, istrinya ini menjadi bagian yang sangat penting dalam
perjuangan dakwah beliau.
Terangkum cerita menjelang
wafatnya, Khadijah menangis. Nabi heran apa gerangan yang ditangisi istri
tercintanya ini. Khadijah pun berwasiat, “Saya menangis bukan karena apa, tapi
karena tidak ada lagi yang dapat saya korbankan untuk perjuangan dakwah agama
ini. Kalau saya meninggal nanti dan tulang-tulang saya ada gunanya untuk
perjuangan, maka gunakanlah.”
***
Aplikasi Fase Ber-Khadijah dalam
Pesantren
Keharmonisan rumah tangga Nabi
inilah yang menjadi poin penting. Setelah para santri dianggap sudah dewasa dan
memenuhi syarat untuk berumah tangga, Ust. Abdullah Said segera mengupayakan
jodoh untuk mereka. Bagaimanapun, kemampuan kepemimpinan seorang kader ketika
belum berumah tangga tidaklah dapat diandalkan, karenanya program pernikahan
ini menjadi penting agar bisa menampilkan seorang pemimpin yang bertanggung
jawab. Memimpin sebuah rumah tangga merupakan langkah awal memimpin masyarakat.
Pada awalnya, pesantren belum
mampu untuk melaksanakan prosesi pernikahan para kader ini sehingga para santri
ini dinikahkan di rumah mereka masing-masing. Seiring waktu, pesantren semakin
mampu untuk melaksanakan pernikahan para kadernya sekalipun dengan sederhana.
Selanjutnya, pernikahan berlangsung lebih dari satu pasang atau lebih dikenal
dengan pernikahan masal.
4. Fase Ber-gua Hira
Fase ini merupakan fase puncak
kegelisahan seorang Muhammad dalam mencari kebenaran. Dia mengamati perilaku
kaumnya yang semakin hari semakin jauh dari kebaikan. Pencarian kebenaran
Muhammad ini berjalan cukup lama, sejak beliau masih remaja. Dikala menggembala
kambingnya, Muhammad sering memanfaatkan waktunya untuk menatap langit dan
mengedarkan pandangannya ke alam semesta, merekam kejadian dan suara-suara
alam. Berlanjut ketika terlibat dalam perdagangan dan bisnis, kemudian tibalah
pada titik kulminasi pencarian ber-tahannuts di Gua Hira.
Muhammad sendiri memilih Gua Hira
sebagai tempat perenungan bukanlah sebuah kebetulan. Seperti ada tuntunan ghaib
yang menuntunnya untuk memasuki Gua Hira tersebut. Bertahun-tahun hal ini
dilakukan dan melihat medannya, bukanlah pekerjaan mudah. Gua Hira merupakan
kawasan gunung berbatu yang cukup terjal. Pendakian dari kaki gunung hingga ke
puncak Gunung Hira adalah sekitar 40 menit, apabila didaki secara terus-menerus
tanpa istirahat. Ketika sampai di puncak gunung, harus turun kembali sekitar 20
meter untuk sampai di Gua Hira. Di sini harus melewati dua buah batu besar yang
posisinya hampir berhimpit sehingga apabila ingin melewatinya harus memiringkan
badan terlebih dahulu. Sungguh suatu medan yang tidak mudah.
Ketika Muhammad ber-tahannuts di
dalam gua sepi tersebut tampak benar peran sentral istri tercinta, Khadijah. Ia
tak kenal lelah pulang dan pergi untuk membawakan bekal suaminya tercinta.
***
Aplikasi Fase Ber-Gua Hira dalam
Pesantren
Fase ini diaplikasikan dalam
proses pengkaderan di Pesantren Hidayatullah antara lain berupa upaya agar
santri dapat bertahan dan konsentrasi di kampus untuk menyerap pelajaran dan
giat beribadah, itulah sebabnya izin keluar kampus diperketat. Jika tidak ada
keperluan teramat penting, santri dilarang meninggalkan kampus. Mengizinkan
santri bebas keluar seenaknya akan mengganggu proses ber-tahannuts karena apa
yang telah mewarnai kehidupan santri setiap harinya di pesantren dengan segala
aktivitas ibadah yang teratur dan pembiasaan akhlaq mulia adalah kekayaan yang
sangat tinggi nilainya. Amat sangat disayangkan sekali apabila hanya karena
kemudahan izin keluar kampus tanpa alasan
syar’i maka kekayaan itu akan terkikis atau bahkan hilang.
Harapannya, dengan kemampuan
bertahan di pesantren dengan segala aturan dan norma yang berlaku dengan penuh
kesabaran, maka in sya Allah para santri ini diharapkan mampu menjadi
pemimpin-pemimpin handal di masa depan. Keluaran sekolah-sekolah tinggi dari
luar negeri yang cerdas sudah tak terhitung. Tapi karena pada umumnya hanya
otak cerdas, tidak dekat dengan masyarakat, tidak mampu menyelami kehidupan
masyarakat, maka mereka gagal dalam kepemimpinannya. Karenanya, para santri di
pesantren Hidayatullah Gunung Tembak ini digembleng dan dididik agar menjadi
pemimpin-pemimpin siap pakai. Karena mereka mengerti sekali apa yang akan
mereka kerjakan yang diperlukan masyarakat. Apabila mereka sampai di tempat
tugas maka mereka sudah sangat terlatih di pesantren ini.
* Disadur dari buku Pengkaderan Ust Abdullah Said
makasih atas infonya, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2BNthKE
BalasHapus