Pengkaderan Rasulullah Sebelum Menerima Wahyu (2)


1 
 
      Setelah pembahasan fase pertama pengkaderan yang dijalani oleh Rasulullah saw berupa kondisi keyatiman, maka kali ini kita akan membahas tentang 3 fase selanjutnya yang dialami oleh Rasulullah saw sebagai fase pengkaderan sebelum beliau saw diangkat menjadi rasul dan menerima wahyu.


      Fase Kedua :  Menggembala

Pengembala kambing merupakan pekerjaan rendah dilihat dari status sosial. Pada masa itu, pekerjaan tersebut biasanya dilakukan oleh para budak dan upahnya pun tak seberapa. Dan ini sangat disadari oleh Muhammad. Tapi kenapa ia memilih pekerjaan ini?

Bermula dari keinginannya untuk meringankan beban kehidupan pamannya, Abu Thalib, yang telah mengasuhnya sementara ia adalah seorang miskin dan memiliki banyak anak. Muhammad rela menjalani pekerjaan tersebut dengan penuh kesungguhan tanpa ia tahu apa hikmah di baliknya. Kelak barulah ia menyadari bahwa ternyata Nabi-nabi yang diutus oleh Allah umumnya menjadi pengembala kambing.

Rupanya mengembala kambing sangat bermanfaat untuk melatih kesabaran, ketabahan, dan kematangan mental sebagai calon pemimpin. Kambing merupakan binatang ternak yang sulit diatur sehingga memerlukan keuletan ekstra untuk menjinakkannya. Dan Muhammad tercatat dalam sejarah sebagai seorang pengembala yang telaten luar biasa. Sering ia mengejar kambingnya yang lari memisahkan diri dari kelompok. Kalau sudah berhasil menangkap kambing yang nakal tersebut, ia akan segera memeluknya sambil berkata, “Engkau lelah dan akupun lelah.”

***
Aplikasi Fase Menggembala dalam Pendidikan

Di pondok pesantren Hidayatullah, Ust Abdullah Said mengimplementasikan fase menggembala ini untuk mendidik santri-santrinya. Kalau Nabi Muhammad di usia remaja menggeluti pekerjaan yang dianggap hina namun produktif, maka para santri juga demikian halnya.

Usia remaja biasanya digunakan untuk melampiaskan nafsu dan berbagai keinginan yang cenderung tidak terkendali. Oleh karena itu, nafsu tersebut diredam dengan menggeluti pekerjaan yang menurut pandangan anak-anak seusianya di luar pesantren merupakan pekerjaan hina. Misalnya seperti membelah kayu, , mencangkul, membantu tukang, buruh, membersihkan kolam yang airnya bercampur kotoran manusia, dan semacamnya. Itulah aktivitas keseharian para santri.

Awalnya sangat berat, apalagi bagi para santri yang umumnya pernah mengalami kehidupan bermanja dan bebas. Tapi dengan gemblengan mental yang terus menerus, dibarengi pengarahan yang selalu memberi harapan kecerahan masa depan sebagai calon pemimpin, lama kelamaan luluh juga. Para santri merasakan bahwa dengan menggeluti pekerjaan seperti itu dapat mengantarnya untuk mudah mendapatkan secercah petunjuk karena kesombongan pada dirinya lama-lama mulai terkikis. 

Gemblengan Ust Abdullah Said ini memang tidak sia-sia. Buktinya kader-kader awal kemudian berhasil ditugaskan di berbagai tempat. Di hadapan penghuni Gunung Tembak, mereka melaporkan tentang perjuangannya. Ini merupakan motivasi tersendiri bagi santri.


2.        Fase Ketiga Berdagang

Setelah Abdul Muthalib meninggal, Muhammad dipelihara oleh pamannya, Abu Thalib. Pamannya ini bukan merupakan orang kaya. Bahkan kehidupannya sangat memprihatinkan dan memiliki banyak anak. Namun begitu, ia memiliki kharisma dan kepemimpinan andal yang disegani oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Sang paman lalu mengikutikan Muhammad muda ke Negeri Syam dalam sebuah perjalanan bisnis. Keikutsertaan itu atas permintaan Muhammad sendiri, namun perjalanan itu hanya sebentar saja dan tidak sampai tujuan. Pendeta Bukhara mencegatnya karena melihat tanda-tanda kenabian yang ada dalam diri Muhammad. Dia bahkan menasehati Abu Thalib agar keberadaan Muhammad tidak diketahui oleh orang Yahudi karena mereka pasti akan membunuhnya. Tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad sudah diketahui oleh tokoh-tokoh Yahudi lewat kitab sucinya.

Perjalanan ini memang singkat, namun mata dan pikiran Muhammad mulai terbuka melihat alam dan sosok-sosok manusia yang belum pernah disaksikannya. Pengalamannya bertambah setelah melakukan perjalanan keluar dari Mekah tersebut.

Dari pengalaman yang sangat sedikit itu, Muhammad lalu memberanikan diri untuk membawa barang dagangan milik Khadijah binti Khuwailid. Modalnya pada waktu itu hanyalah kejujuran dan etos kerja.
Dunia bisnis terkenal dengan praktek penuh kebohongan dan tipu daya. Muhammad ingin menyelami seperti apa kehidupan manusia yang bergulat di dalamnya, paling tidak sekedar untuk menambah pengalamannya, namun ternyata Muhammad mampu menjadi seorang pedagang yang fenomenal di masanya.

Sebagai pedagang, Muhammad menjauhkan diri dari segala praktek kebohongan dan tipu daya kotor untuk mengelabui konsumennya. Sepanjang sejarah bisnis pada waktu itu, model dagang ala Muhammad merupakan yang pertama dan satu-satunya. Dalam melayani pembeli, beliau sangat santun, murah senyum, sabar, berbicara dengan jujur dan apa adanya, tidak bersuara kasar apalagi berteriak. Dan ternyata dagangannya laris manis dan paling cepat habis. Muhammad langsung menjadi pusat perhatian. Tempat jualannya selalu ramai dikunjungi orang dan keuntungan dagangnya pun berlipat ganda. Sang majikan, Khadijah mejadi senang dibuatnya.

Dengan penuh penasaran, Khadijah pun meminta Maisaroh untuk menyertai Muhammad untuk mengetahui seperti apa cara  berdagang Muhammad. Maisaroh pun menceritakan apa adanya yang dia lihat pada diri Muhammad pada saat transaksi jual beli yang dilakukannya. Maisaroh bercerita, apabila Muhammad menjual, dia akan menjelaskan dengan sabar dan penuh senyum kenapa ada barang yang dijual murah dan ada yang dijual mahal. Banyak yang membeli barang dagangannya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari yang ditawarkan Muhammad dan pembeli itu pun berkata, “Saya bukan membeli barangnya, tapi membeli hati penjualnya.”

***

Aplikasi Fase Berdagang dalam Pendidikan

Dalam fase ini, Ust. Abdullah Said mengambil hikmah tentang bagaimana mengantar para santrinya agar memiliki jiwa mandiri, tidak tergantung pada uluran tangan masyarakat bila kelak bertugas di daerah-daerah. Karenanya, mereka harus dibekali dengan berbagai ketrampilan yang dapat menjadi sumber maisyahnya.

Para santri dibekali dan dididik agar pada saat terjun berdakwah ke dalam masyarakat, para santri ini dapat membantu dan memberi banyak kontribusi kepada umat dan bukan malah mengharap uluran tangan. Hanya dengan cara ini dakwah akan lancar, mudah diterima dan tidak tersendat akibat merasa berutang budi kepada masyarakat.

Para santri masing-masing diberi amanah berbagai macam proyek. Memang masih dalam taraf sederhana, tapi dari sinilah mental santri digembleng agar dapat melatih diri membuka usaha dan jujur memegang amanah. Proyek-proyek ini dimodali oleh pesantren. Misalnya ada proyek penanaman kelapa, kemiri, pisang, tanaman lindung, perikanan, pertukangan batu/kayu, perbengkelan dan banyak lagi. 

Ada juga santri yang diikutkan pada orang-orang tua dalam kelompok tani yang melakukan penanaman sayuran, hingga mereka menjual hasilnya. Berbagai macam pelatihan juga terus ditingkatkan dengan bekerja sama dengan LSM-LSM yang ada, termasuk pemerintah. Misalnya saja pelatihan pembuatan mebel, otomotif, instalasi listrik, menjahit. Para santri juga membuat berbagai jenis kerajinan seperti gantuangn kunci, melukis kaligrafi, menyulam, dan lain-lain. Selanjutnya  Kepala-kepala proyek tersebut harus memberi laporan tentang perkembangan proyek yang ada dalam amanahnya setiap jum’at pagi.

Produk-produk santri tersebut lalu dipasarkan ke luar pesantren dan cukup laku. Uang hasil perolehan penjualan akan dipakai untuk keperluan hidup para santri. Bekal ketrampilan dan pengalaman berdagang ini akan sangat membantu ketika kelak mereka harus berkiprah di tengah masyarakat. Di samping pintar dan lihai dalam berceramah, para santri tersebut juga terampil dan mandiri. Hal ini tentu semakin menambah percaya diri dan para santri semakin tangguh mengemban amanah dakwah.


3.       Fase Ketiga Ber-Khadijah

Fase berikut yang dilakoni Muhammad sebelum menerima wahyu atau memasuki kepemimpinan profetik adalah berumah tangga. Beliau menikah dengan Khadijah, janda dan saudagar kaya, maharnya 400 dinar. Apabila dirupiahkan dengan nilai sekarang sekitar Rp 350.000.000,-. Dan uang tersebut merupakan hasil keringat Muhammad sendiri, hasil kerja dari berdagang.

Dalam memilih pasangan hidupnya, Muhammad lebih mempertimbangkan akhlaq serta pengorbanan sosok Khadijah dan bukanlah nafsu yang dominan. Inilah memang yang diperlukan dalam membangun sebuah rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Dan terbukti, setelah Muhammad mendapat wahyu kerasulan, istrinya ini menjadi bagian yang sangat penting dalam perjuangan dakwah beliau.

Terangkum cerita menjelang wafatnya, Khadijah menangis. Nabi heran apa gerangan yang ditangisi istri tercintanya ini. Khadijah pun berwasiat, “Saya menangis bukan karena apa, tapi karena tidak ada lagi yang dapat saya korbankan untuk perjuangan dakwah agama ini. Kalau saya meninggal nanti dan tulang-tulang saya ada gunanya untuk perjuangan, maka gunakanlah.”

***

Aplikasi Fase Ber-Khadijah dalam Pesantren

Keharmonisan rumah tangga Nabi inilah yang menjadi poin penting. Setelah para santri dianggap sudah dewasa dan memenuhi syarat untuk berumah tangga, Ust. Abdullah Said segera mengupayakan jodoh untuk mereka. Bagaimanapun, kemampuan kepemimpinan seorang kader ketika belum berumah tangga tidaklah dapat diandalkan, karenanya program pernikahan ini menjadi penting agar bisa menampilkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Memimpin sebuah rumah tangga merupakan langkah awal memimpin masyarakat.

Pada awalnya, pesantren belum mampu untuk melaksanakan prosesi pernikahan para kader ini sehingga para santri ini dinikahkan di rumah mereka masing-masing. Seiring waktu, pesantren semakin mampu untuk melaksanakan pernikahan para kadernya sekalipun dengan sederhana. Selanjutnya, pernikahan berlangsung lebih dari satu pasang atau lebih dikenal dengan pernikahan masal.


4.       Fase Ber-gua Hira

Fase ini merupakan fase puncak kegelisahan seorang Muhammad dalam mencari kebenaran. Dia mengamati perilaku kaumnya yang semakin hari semakin jauh dari kebaikan. Pencarian kebenaran Muhammad ini berjalan cukup lama, sejak beliau masih remaja. Dikala menggembala kambingnya, Muhammad sering memanfaatkan waktunya untuk menatap langit dan mengedarkan pandangannya ke alam semesta, merekam kejadian dan suara-suara alam. Berlanjut ketika terlibat dalam perdagangan dan bisnis, kemudian tibalah pada titik kulminasi pencarian ber-tahannuts di Gua Hira.

Muhammad sendiri memilih Gua Hira sebagai tempat perenungan bukanlah sebuah kebetulan. Seperti ada tuntunan ghaib yang menuntunnya untuk memasuki Gua Hira tersebut. Bertahun-tahun hal ini dilakukan dan melihat medannya, bukanlah pekerjaan mudah. Gua Hira merupakan kawasan gunung berbatu yang cukup terjal. Pendakian dari kaki gunung hingga ke puncak Gunung Hira adalah sekitar 40 menit, apabila didaki secara terus-menerus tanpa istirahat. Ketika sampai di puncak gunung, harus turun kembali sekitar 20 meter untuk sampai di Gua Hira. Di sini harus melewati dua buah batu besar yang posisinya hampir berhimpit sehingga apabila ingin melewatinya harus memiringkan badan terlebih dahulu. Sungguh suatu medan yang tidak mudah.

Ketika Muhammad ber-tahannuts di dalam gua sepi tersebut tampak benar peran sentral istri tercinta, Khadijah. Ia tak kenal lelah pulang dan pergi untuk membawakan bekal suaminya tercinta.

***

Aplikasi Fase Ber-Gua Hira dalam Pesantren

Fase ini diaplikasikan dalam proses pengkaderan di Pesantren Hidayatullah antara lain berupa upaya agar santri dapat bertahan dan konsentrasi di kampus untuk menyerap pelajaran dan giat beribadah, itulah sebabnya izin keluar kampus diperketat. Jika tidak ada keperluan teramat penting, santri dilarang meninggalkan kampus. Mengizinkan santri bebas keluar seenaknya akan mengganggu proses ber-tahannuts karena apa yang telah mewarnai kehidupan santri setiap harinya di pesantren dengan segala aktivitas ibadah yang teratur dan pembiasaan akhlaq mulia adalah kekayaan yang sangat tinggi nilainya. Amat sangat disayangkan sekali apabila hanya karena kemudahan izin keluar kampus tanpa alasan  syar’i maka kekayaan itu akan terkikis atau bahkan hilang.

Harapannya, dengan kemampuan bertahan di pesantren dengan segala aturan dan norma yang berlaku dengan penuh kesabaran, maka in sya Allah para santri ini diharapkan mampu menjadi pemimpin-pemimpin handal di masa depan. Keluaran sekolah-sekolah tinggi dari luar negeri yang cerdas sudah tak terhitung. Tapi karena pada umumnya hanya otak cerdas, tidak dekat dengan masyarakat, tidak mampu menyelami kehidupan masyarakat, maka mereka gagal dalam kepemimpinannya. Karenanya, para santri di pesantren Hidayatullah Gunung Tembak ini digembleng dan dididik agar menjadi pemimpin-pemimpin siap pakai. Karena mereka mengerti sekali apa yang akan mereka kerjakan yang diperlukan masyarakat. Apabila mereka sampai di tempat tugas maka mereka sudah sangat terlatih di pesantren ini.



* Disadur dari buku Pengkaderan Ust Abdullah Said


 

1 komentar:

  1. makasih atas infonya, jangan lupa kunjungi web kami http://bit.ly/2BNthKE

    BalasHapus

Active Search Results